Beranda | Artikel
Mengenal Tauhid [Bagian 32]
Sabtu, 3 Februari 2018

Bismillah.

Alhamdulillah kita berjumpa kembali dalam seri mengenal tauhid, masih memetik faidah dari Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah.

Pada kesempatan sebelumnya, kita telah membawakan cuplikan dari hadits tentang tujuh puluh ribu orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa azab. Sebab utamanya adalah karena mereka bertawakal semata-mata kepada Allah. Oleh sebab itu disebutkan di dalam hadits tersebut bahwa ciri orang-orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa azab itu adalah : tidak meminta diruqyah, tidak meminta diobati dengan kay/besi panas, tidak berangapan sial, dan bertawakal semata-mata kepada Allah. Insya Allah pada kesempatan ini kita akan melanjutkan kembali pembahasan tentang faidah-faidah berharga dari hadits ini.

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, sebagaimana sudah kita ketahui bersama bahwa bab ini membicarakan tentang keutamaan bagi orang-orang yang merealisasikan tauhid; bahwa mereka akan masuk ke dalam surga tanpa hisab dan tanpa azab. Pada bab sebelumnya telah dibahas tentang keutamaan tauhid dan bahwa ia menjadi sebab terampuninya dosa-dosa. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa setiap kaum yang bertahid akan masuk surga, dan diantara mereka ada yang masuk surga secara langsung yaitu tanpa hisab dan tanpa azab; tentu ini adalah keutamaan yang sangat besar bagi mereka yang diberikan taufik untuk mencapainya.

Apa yang dimaksud merealisasikan tauhid? Ya, merealisasikan tauhid itu adalah menbersihkannya dari segala kotoran syirik, bid’ah, dan maksiat. Syirik merupakan dosa besar yang paling besar dan menyebabkan pelakunya terhalang masuk ke dalam surga. Orang yang merealisasikan tauhid akan menjauhi syirik dengan segala bentuknya, baik syirik besar maupun syirik kecil, baik syirik yang tampak maupun syirik yang tersembunyi. Para sahabat Nabi saja -kaum terbaik setelah para nabi- dikhawatirkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tertimpa syirik ashghar maka bagaimana lagi dengan kita; kita lebih layak untuk takut terjerumus di dalamnya dalam keadaan kita tidak menyadarinya. Oleh sebab itu nanti penulis Kitab Tauhid juga akan menyampaikan bab tentang rasa takut terjerumus di dalam syirik. Insya Allah akan datang penjelasannya…

Kemudian, seorang yang merealisasikan tauhid juga harus meninggalkan bid’ah. Karena bid’ah adalah tata-cara beribadah yang tidak diajarkan oleh rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hakikat tauhid -sebagaimana sudah kita ketahui- adalah beribadah kepada Allah dan meninggalkan syirik. Sementara untuk bisa beribadah kepada Allah maka kita harus mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga barangsiapa melakukan ibadah yang tidak sesuai dengan ajarannya niscaya amal itu akan tertolak. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami maka pasti tertolak.” (HR. Muslim)

Setelah itu seorang yang merealisasikan tauhid juga wajib meninggalkan segala bentuk maksiat kepada Allah; karena maksiat adalah parit-parit yang akan mengantarkan pelakunya menuju jurang kekafiran dan kemusyrikan. Sebagaimana telah diketahui bahwa iman bertambah dengan ketaatan dan menjadi berkurang karena kemaksiatan. Oleh sebab itu seorang yang bertauhid akan menjauhi hal-hal yang merusak dan mengurangi tauhidnya. Orang yang merealisasikan tauhid akan bertaubat dari dosa-dosanya karena dosa mengotori hati dan menghalangi hidayah.

Diantara sifat orang-orang yang merealisasikan tauhid itu -sebagaimana sudah berlalu penjelasannya- adalah menyempurnakan dua sifat mendasar di dalam dirinya; sabar dan keyakinan. Sebagaimana sifat yang telah disebutkan oleh Allah di dalam al-Qur’an pada diri Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yaitu beliau seorang umat alias teladan. Beliau dijadikan sebagai teladan karena telah berhasil menyempurnakan tingkatan sabar dan keyakinan di dalam dirinya. Inti daripada kedua sifat ini adalah ilmu yang bermanfaat dan amal salih. Sabar merupakan bagian pokok di dalam agama; ia merupakan amal yang menyebabkan kaum bertauhid masuk ke dalam surga. Dan keyakinan merupakan buah dari ilmu yang bermanfaat yaitu yang membersihkan hati dari dua penyakit; syubhat dan syahwat.

Diantara sifat orang yang merealisasikan tauhid itu pula adalah dengan tunduk patuh kepada Allah dengan penuh keikhlasan. Condong kepada tauhid dan kebenaran serta berpaling dari syirik dan kebatilan. Seorang yang merealiasikan tauhid adalah orang yang hanif; berpaling dari segala sesembahan selain Allah dan mempersembahkan ibadahnya kepada Allah semata. Seorang yang merealisasikan tauhid akan mengingkari thgahut dan membersihkan imannya kepada Allah dari segala kotoran yang meusak dan menggerogotinya. Seorang yang merealisasikan tauhid akan berlepas diri dari syirik dan pelakunya; meskipun mereka itu adalah sanak saudara atau bahkan bapaknya sendiri. Seorang yang merealisasikan tauhid juga hanya akan menggantungkan hatinya kepada Allah, dia tidak bertawakal kepada selain Allah. Karena bertawakal kepada selain Allah adalah syirik.

Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang apabila disebutkan nama Allah maka takutlah hatinya, apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah imannya, dan mereka bertawakal hanya kepada Rabbnya.” (al-Anfal :2-4). Inilah sifat kaum beriman yang pilihan dan utama; mereka menghiasi hati dan amal anggota badannya dengan tauhid dan tawakal kepada Allah. Mereka mengingat Allah dan takut kepada-Nya. Mereka memperhatikan ayat-ayat-Nya sehingga bertambahlah imannya. Hal ini menunjukkan bahwa perealisasian tauhid itu berangkat dari dalam hati; dan hati itulah yang menjadi poros perbaikannya. Membersihkan hati dari segala sesuatu yang merusak penghambaan kepada Allah. Kerusakan yang menimpa hati inilah yang pada akhirnya akan menjerumuskan manusia ke dalam syirik, bid’ah, dan maksiat bahkan segala bentuk kemungkaran.

Allah berfirman (yang artinya), “Pada hari itu (kiamat) tidaklah berguna harta dan keturunan kecuali bagi yang datang kepada Allah dengan hati yang selamat.” (asy-Syu’ara’ : 88-89). Hati yang selamat tidak mengabdi kepada selain Allah dan tidak bergantung kepada selain-Nya. Dia adalah hati yang terisi dengan keikhlasan dan tauhid kepada-Nya. Hati yang memendam rasa cinta, takut dan harap kepada Allah. Dia menjadikan Allah sebagai pemandu perjalanan hidupnya. Dia jadikan rasul sebagai pembimbing perjalanan ibadahnya. Hati yang beriman kepada hari kembangkitan dan pembalasan amal. Hati yang tidak dirusak oleh penyakit keragu-raguan.

Oleh sebab itu di dalam hadits tentang tujuh puluh ribu orang yang masuk surga dan tanpa azab ini disebutkan sifat-sifat yang menunjukkan kesempurnaan ketergantungan hati mereka kepada Allah. Sehingga mereka pun meninggalkan sesuatu yang pada asalnya tidak terlarang demi mendapatkan sesuatu yang lebih mulia dan demi menghindari ketergantungan hati kepada selain Allah.

Mereka meninggalkan meminta ruqyah; karena pada umumnya orang yang meminta diruqyah bergantung hati kepada orang yang meruqyah dirinya. Mereka juga tidak meminta diobati dengan kay/disundut dengan besi panas; yang pada umumnya juga membuat hati sangat bergantung kepadanya disebabkan metode ini dianggap sangat manjur dalam mengobati, mereka juga tidak beranggapan sial; karena beranggapan sial itu merusak tauhid dan tawakal. Oleh sebab itu disebutkan di akhir hadits bahwa mereka itu bertawakal hanya kepada Allah, demikian kurang lebih intisari penjelasan hadits ini sebagaimana yang pernah disampaikan oleh guru kami al-Ustaz al-Fadhil Abu Isa Abdullah bin Salam hafizhahullah wa ra’ah beberapa tahun silam.       

Hukum Ruqyah

Dari ‘Auf bin Malik al-Asyja’i radhiyallahu’anhu, beliau berkata: Dahulu kami biasa melakukan ruqyah/jampi-jampi di masa jahiliyah. Maka kami pun mengadukan hal itu, “Wahai Rasulullah! Bagaimana menurut anda tentang hal itu?”. Beliau menjawab, “Tunjukkan kepadaku bagaimana bacaan ruqyah kalian. Tidak mengapa meruqyah selama tidak mengandung unsur kesyirikan.” (HR. Muslim).

Hadits di atas menunjukkan bahwa yang dimaksud ruqyah yang terlarang adalah ruqyah yang mengandung unsur kesyirikan atau yang tidak mengikuti tuntunan syari’at. Inilah yang dimaksud oleh hadits Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Sesungguhnya ruqyah, jimat-jimat, dan pelet adalah kesyirikan.” (HR. Abu Dawud dalam Kitab ath-Thibb [3883], disahihkan oleh Syaikh al-Albani) (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/112] dan at-Tam-hid li Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 111-112)

Dari Abdul Aziz, dia berkata: Aku dan Tsabit datang menemui Anas bin Malik radhiyallahu’anhu. Tsabit berkata, “Wahai Abu Hamzah, aku sedang sakit.” Anas berkata, “Maukah aku ruqyah engkau dengan bacaan ruqyah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”. Dia menjawab, “Iya tentu saja.” Anas pun membaca, “Allahumma Rabban naasi, Mudzhibal baasi. Isyfi anta asy-Syaafii. Laa syaafiya illa anta. Syifaa’an laa yughaadiru saqoma.” (HR. Bukhari)

Para ulama membolehkan ruqyah apabila terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

  1. Bacaan ruqyah itu berasal dari ayat al-Qur’an atau bacaan yang dituntunkan di dalam as-Sunnah, atau dengan menggunakan nama-nama dan sifat-sifat Allah
  2. Diucapkan dengan bahasa Arab dan jelas maknanya
  3. Tidak boleh mengandung unsur hal-hal yang bertentangan dengan syari’at, misalnya berisi doa kepada selain Allah, meminta keselamatan kepada jin atau yang semacam itu
  4. Harus diyakini bahwa bacaan itu tidak bisa berpengaruh dengan sendirinya tetapi bergantung kepada takdir Allah ‘azza wa jalla (lihat penjelasan Syaikh Shalih alu Syaikh dalam at-Tam-hid li Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 108 cet. Dar at-Tauhid, penjelasan Syaikh Ibnu Utsaimin dalam al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/117] cet. Maktabah al-‘Ilmu, dan keterangan Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari [4/525] [10/220] cet. Dar al-Hadits)

Salah satu dalil yang menunjukkan bolehnya ruqyah ini adalah hadits tentang keutamaan surat al-Fatihah berikut ini. Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu’anhu, beliau menceritakan bahwa suatu ketika sekelompok Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada dalam perjalanan. Kemudian mereka melewati sebuah kabilah arab. Mereka meminta disambut sebagai tamu, tetapi permintaan itu ditolak oleh kabilah tersebut. Namun, setelah itu mereka bertanya, “Apakah diantara kalian ada yang pandai meruqyah? Karena pemimpin kabilah terkena sengatan binatang berbisa atau tertimpa musibah.” Salah seorang lelaki diantara rombongan pun berkata, “Iya.” Dia pun mendatanginya dan meruqyahnya dengan Fatihatul Kitab hingga sembuh. Setelah itu diberikanlah sejumlah kambing sebagai upah atasnya, tetapi orang itu enggan menerimanya. Dia mengatakan, “Tidak, sampai aku ceritakan hal ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Lalu dia pun menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan melaporkan hal itu kepada beliau. Dia berkata, “Wahai Rasulullah! Demi Allah, aku tidak meruqyah kecuali dengan Fatihatul Kitab (surat al-Fatihah) saja.” Beliau pun tersenyum seraya bersabda, “Darimana kamu tahu bahwa ia adalah ruqyah?”. Kemudian beliau memerintahkan, “Ambillah pemberian mereka, dan sisihkan juga jatahku bersama kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadits ini adalah dalil bahwa ruqyah tidak terlarang.

Meskipun demikian, orang yang merealisasikan tauhidnya meninggalkannya -meminta ruqyah kepada orang lain- karena hal itu akan membuat hatinya bergantung kepada selain Allah. Hadits tersebut -tentang tujuh puluh ribu orang yang masuk surga tanpa hisab- menunjukkan bahwa meninggalkan meminta ruqyah dan kay adalah termasuk bagian dari perealisasian tauhid (lihat al-Mulakhosh fi Syarh Kitab at-Tauhid oleh Syakh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah, hal. 41)   

Syaikh as-Sa’di menjelaskan bahwa ruqyah dengan ayat al-Qur’an, as-Sunnah, atau ucapan yang baik memang dianjurkan bagi orang yang meruqyah; karena hal ini termasuk perbuatan ihsan dan memberikan manfaat bagi orang lain. Adapun bagi orang yang diruqyah hukumnya boleh. Meskipun demikian, selayaknya bukan dia yang memulai meminta diruqyah. Sebab satu tanda kesempurnaan tawakal dan keyakinan seorang hamba adalah tidak meminta kepada siapapun, baik ruqyah maupun yang lainnya. Kalau pun dia -terpaksa- meminta diruqyah, semestinya dia berniat untuk mendatangkan kemaslahatan bagi orang lain yang berdoa/meruqyah dan berbuat ihsan kepadanya dengan menjadi sebab baginya melakukan ibadah ini, di samping maslahat pribadi untuk dirinya sendiri. Ini merupakan salah satu rahasia perealisasian tauhid dan keindahan penerapan kandungan ajarannya. Tidak ada yang diberi taufik untuk memahami dan mengamalkannya kecuali hamba-hamba yang sangat istimewa (lihat al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 39)

Demikian sedikit catatan, semoga bermanfaat bagi kita. Wallahul muwaffiq.

Penyusun : www.al-mubarok.com


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/mengenal-tauhid-bagian-32/